Selasa, 29 Juli 2014

Minta Gendong di Pantai Teluk Penyu


Pelesiran ke Segara atau pantai menjadi tradisi tak tertulis setiap hari Lebaran di rumah mertua atau mbahnya anak-anak. Hari kedua Lebaran 2014, kami pun memilih Pantai Teluk Penyu, Cilacap. 

Tapi di luar dugaan si bungsu Rara kurang menikmati pelesiran kali ini. Alasannya, takut kerang. Sudah lama ia memang takut atau jijik dengan binatang laut itu. 

Masalahnya pada pelesiran Lebaran 2013, kami bisa menikmatinya. Kala itu Rara juga takut kerang. Ia tak mau turun dari gendongan papanya. Beruntung kondisi itu hanya sebentar. Ia kemudian turun, berlompatan tatkala didatangi ombak, bahkan akhirnya bermain ombak dan tak mau diajak pulang.

Tahun ini, kami berharap pengalaman itu terulang. Mulanya, Rara tak mau pergi ke pantai. Ia meminta diajak kolam renang. Pilihan itu terasa menyulitkan kami karena kolam renang di kawasan Maos, Jawa Tengah, tempat tinggal eyangnya Rara, relatif susah didapatkan.

Beruntung beberapa jam sebelum pergi ke pantai, ia menyetujuinya. Kami semua menjadi senang. Namun begitu sampai di pantai, Rara tak mau turun. Ia minta selalu digendong papanya tat kalah melihat pecahan kerang berserakan di sepanjang pantai.

Meski saya mencoba menjatuhkan diri agar Rara menyentuh pasir pantai, bocah itu malah menjerit-jerit dan tak mau melepaskan pegangan dari bahu ayahnya. Saya pun menyerah. Rara memilih tak bermain air pantai dan duduk bersama mamanya di kejauhan.

Kamis, 03 April 2014

Polisi Pun Bosan: Lu Lagi, Lu Lagi...

Suatu pagi cerah, usai mengantar anak sekolah, saya mencuci sepeda motor di sekitar Parung, perbatasan Depok-Bogor. Sekitar 15 menit kemudian tiba-tiba kepanikan kecil terjadi di depan saya.
Sejumlah pengendara motor tiba-tiba berhenti. Beberapa lainnya berbalik arah memasuki gang. Hal itu diikuti pengendara motor lainnya yang memilih mencari jalan tikus dari pada jalan lurus yang lebih mulus.
Usut punya usut ternyata baru saja digelar razia sepeda motor sekitar 300 meteran dari lokasi pencucian motor. Bisa ditebak model bikers (pengendara sepeda motor) seperti apa yang panik saat ada razia motor.
Mereka biasanya para bikers yang tak mengenakan helm lengkap baik yang menyetir, maupun yang membonceng. Biasanya bikers seperti ini tujuannya jarak dekat dan tak mengira ada razia motor.
Ada juga bikers yang sudah menggunakan helm tapi tetap takut karena tak membawa surat-surat lengkap seperti SIM dan STNK. Bisa juga karena sepeda motor yang dikendarainya adalah pinjaman dan ia lupa meminjam surat surat-surat sepeda motor.
Yang saya bingung adalah para bikers yang berpenampilan lengkap, pakai jaket, helm, tas, sepeda motor juga bagus namun memilih berbelok menghindari razia yang digelar petugas. Dan model seperti ini jumlahnya bukan satu orang. “Jika tak bersalah, kenapa mesti takut?,” pikir saya.
Salah seorang bikers berpenampilan lengkap tadi kebetulan meminggirkan sepeda motornya untuk dicuci. “Wah ketemu razia lagi,” katanya, membuka percakapan .
Saya pun punya kesempatan untuk ngobrol lebih jauh. “Kayaknya, baru 15 menit,” kata saya menanggapi basa-basinya.
Seperti sudah diduga, bikers tersebut seorang karyawan yang tinggal di sekitar Parung dan bekerja di daerah Grogol. Menggunakan sepeda motor, ucapnya, adalah satu-satunya angkutan paling murah dibanding menggunakan angkutan umum dimana ia harus gonta-ganti naik angkutan yang biasanya bisa jatuh tiga kali lebih mahal dibanding menggunakan sepeda motor.
“Itulah mengapa jumlah sepeda motor yang melintasi Jakarta kian banyak jumlahnya. Lagi pula, beli sepeda motor sekarang ini kan gampang. Punya uang Rp 500.000 sudah bisa bawa pulang sepeda motor baru,” papar bikers yang ternyata doyan ngobrol tadi.
Saya jadi membayangkan kemudahan mendapat sepeda motor seperti fakta tak terhindarkan. Bahkan sekarang ini telah menjadi fenomena bahwa bikers di jalanan Jakarta bukan hanya kaum pria, tapi juga wanita. Hal itu seiring dengan munculnya produk sepeda motor matic dan scutic yang memang diperuntukan kaum hawa.
Para bikers wanita itu bahkan bukan hanya melintas siang hari, tapi tengah malam. “Malam hari naik metro mini sendirian pasti lebih serem dibanding naik sepeda motor.” Begitu kata salah seorang bikers wanita di kantor saya.
Kembali pada bikers berpenampilan lengkap tadi. Ia mengaku punya SIM dan STNK. Hanya saja masa berlaku STNK sepeda motornya sudah habis. Dan hingga sekarang ia belum sempat membayar pajaknya. “Toh, denda terlambat membayar perpanjangan STNK mau sehari atau setahun sama saja besarannya,” ucap sang bikers tersebut beralasan.
Katanya lagi, ia belum sempat mengurus STNK karena lokasi pembayaran jauh dari rumahnya. Belum lagi ia membayangkan harus antre sehingga dibuat malas duluan. Lagi pula razia sepeda motor siang hari kan jarang. Kalaupun kena yang urusannya sebentar. Berdebat dulu agar bisa lolos. Kalau gagal tinggal melakukan salam tempel. Beres deh.
“Tapi terus terang yang razia di sini saya malas dan tengsin (malu),” katanya seraya menyebut hafal anggota polisi yang merazia karena sering kena.
Saya bersyukur ia punya rasa malu karena salah. Sebab ada pula loh, teman saya sekantor yang juga sering kena razia polisi yang sama.
Saya lalu bercerita kepadanya soal itu. Begitu teman saya kena razia lagi, polisi yang sama tadilah yang malas menindaklanjutinya. “Lu lagi, lu lagi,” kata polisi itu.
Bikers tadi ternyata tertawa terpingkal-pingkal mendengarnya seraya bilang. “Saya juga pernah digituin. Lu lagi, lu lagi!”

Rabu, 02 April 2014

Pelajaran dari Seorang Motivator

Linda, sebut saja begitu namanya, tampil meyakinkan saat menjadi motivator pada sebuah perusahaan pers di Jakarta. Ia memberi berbagai wejangan tentang bagaimana caranya menjadi karyawan profesional sekaligus sukses.

Tepat waktu, katanya, menjadi salah satu kata kunci yang harus dipegang teguh. “Ya kalau kantornya dekat pasar harus siap berangkat kerja lebih awal. Jangan malah itu jadi alasan,” ucap Linda dengan mimik serius.

Apa yang dikatakan Linda tentu masuk akal, namun tidak istimewa karena begitulah seharusnya.  Petuah seperti itu bahkan akan masuk dan keluar telinga begitu saja, kalau saja tak ada peristiwa yang cukup relevan minggu berikutnya.

Setelah pertemuan itu, diputuskan untuk mengadakan pertemuan lanjutan guna menemukan work habits yang dibutuhkan dalam kantor tersebut.

Tidak seperti pertemuan pertama dimana Linda dan timnya datang lebih awal sebelum para karyawan yang hendak diberi motivasi itu bermunculan. Pada pertemuan kedua terjadi sebaliknya, justru yang terlambat. Bahkan ia baru muncul lebih dari setengah jam dari jadwal yang ditentukan.

Begitu muncul ia tampak tergopoh-gopoh. Sungguh tidak enak rasanya datang terlambat dalam posisi sebagai motivator. Ia pun langsung meminta beribu maaf.  “Sudah tahu kantornya dekat pasar,” begitu sebuah celetukan muncul.

Linda berusaha untuk tidak malu dengan celetukan itu seraya menyebut bahwa ia harus meninggalkan mobilnya untuk naik ojek agar bisa menembus kemacetan yang katanya di luar prediksi. Namun celetukan berikutnya muncul. “Itu mah (ngojek ke kantor) makanan kita sehari-hari!”

Pelajaran penting yang bisa dipetik tampaknya bukan pada banyaknya motivasi yang telah disampaikan Linda dan timnya. Tetapi justru dari apa yang baru saja ia lakukan.

Selasa, 01 April 2014

Survei Bersemi Menjelang Pileg dan Pilpres


Bermacam survei bersemai jelang Pileg 9 April dan Pilpres 9 Juli. Dengan berbagai sudut pandang mereka melakukan survei tentang calon anggota legislatif dan calon Presiden yang akan dipilih rakyat.
Ada yang bisa dipercaya publik ada yang meragukan. Ada pula yang memberi perspektif lain tentang keberagaman pilihan survei. Misalnya hasil survei terhadap korban Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan dalam memandang capres 2014-2019 yang dilakukan Setara Institut. 
Hasilnya, Joko Widodo (67%), disusul Megawari Soekarnoputri (7%); Prabowo Subianto (6%); Mahfud MD (4%); Dahlan Iskan (3%); Jusuf Kalla/JK (3%); Surya Paloh (3%); Pramono Edhie Wibowo (2%): Aburizal Bakrie (2%); Anis Baswedan (2%); Hatta Rajasa (1%) dan Suryadharma Ali (0%). Suryadharma yang menjabat Menteri Agama sekarang ini dianggap gagal merawat perbedaan agama. Ia dianggap cenderung berpihak pada agama tertentu, tak cocok dengan jabatannya.
Sebelumnya, Pol-Tracking Institute melakukan Survei Pakar bertajuk “Mengukur Kualitas Personal Para Kandidat Capres-Cawapres. Survei dengan responden 330 Guru Besar (Profesor) pada 33 Provinsi pada 3 Februari hingga 10 Maret 2014. JK berada pada urutan teratas, disusul Jokowi.
Forum Umat Islam (FUI) mengaku sudah punya survei soal siapa yang layak dipilih jadi capres. Meski tak menyebutkan metodologinya, hasilnya bisa ditebak. Jokowi yang begitu populer pada survei umumnya, justru tak ada yang memilih di survei FUI.
Mengutip pernyataan Sekretaris Jenderal FUI KH Muhammad Al Khaththath, hasilnya adalah  60 persen menginginkan Habib Rizieq (Ketua FPI) menjadi Presiden, disusul Yusril Ihza Mahendra 13,8 persen, Ustad Yusuf Mansyur 13,2 persen, dan Jokowi 0 (nol) persen.
Nah, hari ini Rabu (2/4) ada sekitar tiga undangan terkait survei Capres/Cawapres/Caleg. Pertama dari LSI milik Deny JA yang hendak mengabarkan survei kampanye negatif dan prediksi hasil Pileg 2014. Lalu hasil pemantauan PoliticWave soal perang digital Pemilu 2014, dan hasil Survei dari Yayasan Jantung Sehat terkait caleg yang tidak pro kesehatan.
Sehari kemudian, Kamis (3/4) PopuliCenter akan menyampaikan survei persepsi kaum profesional di Jakarta mengenai capres dan cawapres 2014-2019.
Keberagaman survei memang sah-sah saja. Ada atau tidak ada kepentingan di belakang hasil survei tersebut juga tak masalah. Toh, rakyat sekarang ini tidak bodoh. Mereka sudah punya pilihan sendiri, bahkan termasuk pilihan tidak memilih. 
Namun dia tak menjelaskan bagaimana survei dilakukan atau metode penelitian tersebut.


Tim Sukses Caleg yang Memukau

Seorang lelaki mengenakan kemeja putih dan celana jeans telah membetot perhatian warga Kampung Tanpaguna, Desa Tanpadaya, Kecamatan Tanpawibawa. Senyum lelaki itu seolah memberikan aura positif bagi warga sekitarnya.

“Asal bapak dan ibu tahu, si Bung inilah yang telah membantu kita dalam pengasapan sebulan lalu. Alhamdulillah, setelah pengasapan itu tak ada lagi warga kita kena demam berdarah…,” kata Santo, ketua RT setempat. Lelaki yang diperkenalkan sebagai Bung Kalem itu mengangguk sambil tetap tersenyum kepada semua orang.

Saat ketua RT mempersilahkan Bung Kalem memberikan sambutan, lelaki tersebut kemudian menghampiri Santo. Tak lama kemudian ketua RT menyampaikan maaf kepada warga sekitar bahwa Bung Kalem tak siap memberikan sambutan. Ia bilang sudah senang melihat warga di Kampung Tanpaguna tersebut terbebas wabah demam berdarah.

Dalam 10 tahun terakhir, penyakit DBD tak pernah benar-benar hilang dari peredaran. Penyakit yang disebabkan nyamuk aedes aegipty itu akan muncul dan muncul lagi. Terutama dimulai pada musim transisi dari musim panas ke musim hujan hingga musim transisi lagi.

Ironisnnya jumlah korban DBD makin tahun cenderung meningkat seolah nyamuk aedes aegipty lebih pintar daripada manusia, para dokter, dan ahli kesehatan. “Habis bagaimana penyakit tersebut tidak hilang jika mereka pejabat kita sibuk dengan urusan proyek daripada menghadapi penyakit DBD,”ujar Santo.

Sebagai ketua RT, Santo mengaku pernah habis kesabarannya terkait urusan penyakit tersebut. Beberapa waktu lalu beberapa warganya terserang penyakit DBD, seorang anak diantaranya meninggal dunia. Warga panik. Ia melapor ke tingkat kelurahan, kecamatan, hingga pemerintahan kota agar dilakukan pengasapan. Tapi responnya tak seperti yang diharapkan.

“Mereka minta saya bikin proposalah, menunggu dana cairlah, menunggu dibikinin Sk-lah. Mereka sama sekali tidak tanggap!,” ujar Santo.

Saking putus asanya, Santo pernah bilang akan memilih bahkan memobilisasi warganya kepada caleg yang mau mengadakan pengasapan di lingkungannya. Ternyata tak ada satu pun caleg yang muncul. Para caleg di sekitar lingkungan mereka memilih mengeluarkan dananya untuk bikin spanduk, kaos, atau dibagi- bagikan kepada warga yang diduga akan memilihnya.

Lalu Bung Kalem muncul. Semula Santo mengira ia seorang caleg. Bahkan untuk membuktikan bahwa lelaki di hadapannya caleg atau bukan, diam-diam ia mendatangi KPU setempat. Ternyata ia memang bukan caleg.

Di mata Santo, dan mungkin juga warga lainnya, Caleg adalah pembual, munafik. Mereka kerap mengumbar janji manis, namun setelah terpilih menjadi anggota legislatif, anggota DPR/DPRD lupa pada rakyat yang memilihnya. Banyak diantara mereka menjadi korup, bahkan main perempuan.

“Kalau Bung bukan seorang caleg, buat apa bapak repot-repot menolong kami,” tanya seorang warga dalam kesempatan berbincang dengan Bung Kalem.

Lelaki itu tersenyum. “Kira-kira saya pantes nggak menjadi seorang caleg,” tanya Bung Kalem. Beberapa warga yang mendengarnya langsung berkata serentak: panteeesss!.

“Tapi maukah kalian memilih saya meski tak memberikan kalian uang,” tanyanya lagi. Jawaban serupa dan serentak masih terdengar.

“Oke. Kalau kalian percaya saya. Tapi saya bukan seorang caleg,” kata Bung Kalem.

Sebulan kemudian, Santo memberikan kabar kepada warga bahwa Bung Kalem akan datang lagi ke lingkungan mereka untuk membagikan sembako murah. “Apa maksudnya ia memberi kita sembako murah?” Seorang warga berkata, masih curiga. Namun ia tak berhasil mendapatkan jawabannya.

Masih mengenakan kemeja putih dan jeans biru, kahadiran Bung Kalem benar-benar menghangatkan suasana. Diantara kerumunan warga yang antre sembako, kehadirannya begitu bersinar. Ia seakan memberikan cahaya terang dan sejuta harap kepada warga di sekitarnya.

“Saya katakan sekali lagi, saya memang bukan caleg. Tapi jika bapak dan ibu masih percaya saya, saya sarankan untuk memilih gambar dalam amplop yang ada di dalam paket sembako tersebut. Beliau orang baik, caleg DPR RI,” kata Bung Kalem.

Semua warga yang sudah menenteng paket sembako bergegas mencari amplop untuk melihat wajah caleg yang disebut Bung Kalem. Ternyata wajahnya berbeda dengan Bung Kalem. “Beliau adalah bos saya. Beliaulah yang menyediakan dana untuk pengadaan paket sembako ini, termasuk dana pengasapan beberapa waktu lalu,” katanya lagi seolah tahu apa yang dipikirkan warga.

“Jangan khawatir, beberapa hari lagi beliau akan ke sini. Beliau akan memberikan kabar gembira. Beliau juga tak akan melupakan jasa-jasa kalian,” kata Bung Kalem. Kali ini nadanya seolah-olah dia seorang juru kampanye.

Warga yang bingung akhirnya menghadap Ketua RT Santo setelah Bung Kalem pulang. Mereka merasa kena fait accompli, disuruh memilh caleg yang belum dikenal namun telah memberi paket sembako tersebut?

Santo pun minta maaf karena kurang teliti menanyakan kehadiran Bung Kalem. Waktu itu ia hanya bertanya apakah Bung Kalem seorang caleg atau bukan, ternyata memang bukan.

“Nyatanya ia seorang tim sukses caleg. Huh, sama saja!,” ucapnya seperti menyalahkan diri sendiri.

Meski begitu warga tetap deg-degan menanti kehadiran caleg yang dijanjikan Bung Kalem. Mereka percaya dengan perkataan lelaki berkemeja putih dan celana blue jeans tersebut, namun mereka sulit lepas dari anggapan bahwa semua caleg sama saja, pembual…

Senin, 31 Maret 2014

Alasan Tak Punya Akun Facebook

Namanya Wisnu Maruto. Namun orang-orang mengenalnya sebagai Melvis, singkatan dari Mas Elvis. Panggilan itu muncul karena Wisnu sangat tergila-gila pada Elvis Presley, penyanyi idola zaman bahuela.

Melvis merupakan mahasiswa kawakan saat bergabung di sebuah universitas negeri di Surabaya. Beda usianya hingga lima tahun di atas mahasiswa lainnya. Sebelumnya ia pernah kuliah di Yogjakarta. Sedang di Surabaya Melvis menempuh kuliah di dua tempat sekaligus.

Karena kawakan, ia tampak sangat percaya diri. Melvis menjadi salah satu mahasiswa paling bersinar diantara mahasiswa baru yang umumya berasal dari luar Kota Surabaya.

Dalam perjalanan waktu, kawan-kawan pun mulai mengenal karakter Melvis sesungguhnya. Percaya diri yang cenderung berlebihan mungkin sudah menjadi pembawaannya. Tapi semua suka memang. Yang tak suka umumnya mencap dia sebagai sombong. Si omong besar.

Untungnya, selain pandai bergaul, Melvis menyukai humor. Ia seolah tak pernah kehabisan cerita lucu. Misalnya dalam sebuah acara reuni dengan rekan-rekannya setelah 25 tahun kemudian, Melvis yang kini bertubuh tambun menyebut dirinya seksi.

“Itu anak saya yang bilang. Katanya papih sekarang seksi. Apa itu seksi? Ternyata singkatan dari seket siji (51 tahun, umur Melvis sekarang ini).” Peserta reuni tertawa mendengarnya.

Ya penampilan Melvis memang tak banyak berubah. Yang berubah adalah tubuhnya yang sangat subur. Jika dulu 60 kg sudah dianggap kelebihan, kemarin ia mengaku beratnya 95 kg.

Dengan balutan jaket kulit warna coklat muda, kaos hitam, celana hitam dan kaca mata hitam, Melvis tampak seperti seorang bos yang berhasil menaklukan ibu kota. Aslinya dia memang pengacara cukup sukses.

Seorang kawan yang tadinya merasa paling gemuk, jadi merasa lebih kurus setelah kehadiran Melvis.

“Saya pernah mencoba menguruskan badan. Tapi dilarang oleh staf saya di kantor. Katanya, pengacara sukses kok badannya kurus. Ya sudah saya pertahankan tubuh seperti ini. Yang penting sehat, bukan?.” Melvis menoleh kawan-kawannya seolah persetujuan. Meski tanpa anggukan, Melvis sudah tahu semua kawannya pasti setuju.

Melvis pun lalu bercerita tentang tentang klien, tentang anak, tentang rumah, dan tentang mobil-mobil koleksi dengan nomor khususnya. Seorang kawan kemudian nyeletuk. “Sekarang dosennya sudah datang,” katanya.

Ini karena semua perhatian peserta reuni yang tak sampai 20 orang terpusat mendengarkan celotehan Melvis. Sebelum Melvis hadir, mereka bercerita sendiri-sendiri. Melvis berhasil menjadi sosok pemersatu.

Meski tergolong alumni paling sukses, hampir semua kawan merasa aneh karena Melvis tak mempunyai akun fesbuk hingga sekarang. Hare gene gitu loh nggak punya fesbuk. Acara reuni-reuni yang bermunculan di berbagai tempat pun umumnya karena faktor fesbuk.

Pertanyaan itu kemudian terlontar dan Melvis lagi-lagi menjawabnya dengan humor.

Katanya, pernah ia dua kali dibuatkan akun fesbuk oleh anak dan kawan SMA-nya. Namun karena tak pernah digunakan, Melvis lupa password-nya. Tapi kenapa tak pernah digunakan? Melvis menyebut karena aktivitasnya sangat tinggi.

Surat menyurat via email sudah diurusi sekretarisnya. Tugas dia adalah melakukan lobi dan mendampingi klien. “Daripada ngurusi fesbuk saya memilih kursus bahasa Mandari karena klien saya di Jakarta kebanyakan berasal dari etnis China,” ujarnya.

Sebelum masuk ke Ibukota, Melvis mengawali karier kepengacaraannya di kota di Malang dan Surabaya, Jawa Timur.

“Sebenarnya saya tak bisa berfesbukan karena saya tak terbiasa mengetik lagi, apalagi mengetik di handphone. Tangan saya tak bisa selincah kalian.” Melvis tertawa sambil memperagakan mengetik sesuatu di hanphonenya yang tampak menjadi lebih kecil, karena tertutup dua jempolnya yang besar dan gemuk.

“Oooh, jadi karena jempol ya?” Seorang kawan menyimpulkan, disambut anggukan dan tawa yang lainnya. Melvis ikut tertawa, ia tak menyesal dengan “kelebihan” sekaligus kekurangannya itu.

Minggu, 30 Maret 2014

Prediksi Pileg 2014: Partai Gerindra Bakal Masuk Tiga Besar



Spanduk Partai Politik di Perempatan Pondok Pinang-Pondok Indah
Pemilihan Anggota Legislatif (Pileg) tinggal 8 hari lagi. Hampir sebagian survey memprediksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) sebagai pemenangnya. Lalu siapa saja urutan tiga besar.
Sekjen PDIP, Tjahjo Kumolo mengaku memiliki hasil survei internal bahwa partainya bisa meraih kemenangan dalam pemilihan umum legislatif pada 9 April mendatang. Bahkan ia optimis PDIP akan meraih suara 30 persen.  Optimisme tersebut dipengaruhi oleh dipercepatnya waktu deklarasi Joko Widodo (Jokowi) sebagai calon presiden dari partai berlambang banteng  tersebut.
Survei Charta Politika juga menyebut PDIP sebagai pemenang, Partai Golkar menjadi saingan lama dan Partai Gerindra menjadi lawan terbarunya. Tepatnya PDI-P memimpin dengan 21,2 persen, diikuti Golkar dengan 16,4 persen, dan Gerindra dengan 12 persen.
Survei yang dilakukan awal Maret hanya sedikit berbeda dengan hasil  survei sejenis pada Desember 2013. Saat itu, PDI-P memperoleh 15,8 persen, Golkar dengan 12,6 persen, serta Gerindra 7,8 persen. Elektabilitas ketiga partai tersebut berkaitan dengan menguatnya gejala personalisasi, alias ketokohan figur tertentu yang terkait parpol itu.
Oleh Charta Politika, hal itu disebut sebagai demokrasi kultus. Partai politik cenderung hanya jadi fans club. Charta Politika menemukan 57,8 persen pemilih PDI-P mengaku memilih PDI-P karena tertarik dengan figur Joko Widodo. Sebelumnya pada survei Desember 2013 hanya 38,1 persen memilih PDI-P karena faktor Jokowi.
Sementara 47,9 persen pemilih Gerindra mengaku memilih, karena tertarik figur Prabowo. Terjadi penurunan, karena pada survei Desember 2013, sebanyak 55,4 persen memilih Gerindra karena faktor Prabowo Subianto. Hal senada terjadi di parpol di bawah ketiganya. Pemilih Partai Demokrat mengaku memilih partai itu karena tertarik figur SBY (38,2 persen). Atau di Hanura, karena tertarik figur Wiranto (40 persen).  
Pusat Kajian Demokrasi Indonesia Nurjaman Center For Indonesian Democracy (NCID) bahkan memprediksi PDIP akan memperoleh 124 kursi. Bedanya Partai Gerindra berada di urutan kedua dengan 105 kursi dan Partai Golkar dengan 93 kursi. NCID juga  memprediksi, PBB, Nasdem dan PKPI tidak dapat mencapai ambang batas parlemen nasional.
Dengan komposisi itu, NCID memprediksi akan terjadi koalisi. Yakni koalisi antara PDIP dengan PKB, (144 kursi atau 25% penguasaan kursi) dan koalisi Gerindra dengan PPP (136 kursi atau 24% penguasaan kursi) serta koalisi antara Demokrat,PKS,PAN dan Hanura (187 kursi atau 33 penguasaan kursi). Sementara Partai Golkar akan memegang peranan krusial, karena berada dalam posisi poros tengah.
Media Survei Nasional (Median) sebelumnya memprediksi ada enam parpol berpeluang memperebutkan posisi tiga besar pemenang Pemilu 2014 yakni Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), Partai Golongan Karya (Golkar), Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra), Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Persatuan Pembangunan (PPP), dan Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura).
Menurut catatan hasil Pileg 2004 dan 2009, PDIP dan Partai Golkar memang tak pernah tersingkir dari tiga besar. Sedang satu partai selalu bergantian. Jika tahun 2004 PKB menyodok dengan tiga besar karena faktor (Alm) Gus Dur , lima tahun berikutnya Partai Demokrat menyodok, bahkan menjadi pemenang.
Tampaknya wajar jika kemudian Partai Gerindra diprediksi yang akan masih ke tiga besar, entah di urutan kedua atau ketiga, yang jelas bukan urutan pertama. Adakah Anda memiliki prediksi berbeda?


PREDIKSI PARTAI PEMENANG PEMILU
PDI-P  21,2 persen
Partai Golkar 16,4 persen
Partai Gerindra 12 persen
Partai Demokrat 8 persen
PKB 7,2 persen
PPP 5,1 persen
Hanura 4,8 persen
PAN 4,5 persen
PKS 3,2 persen
Nasdem 2,6 persen
PBB 0,4 persen
PKPI 0,1 persen
Survei Charta Politica Maret 2014

PREDIKSI PARTAI PEMENANG PEMILU 2014
Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, 21,4 persen
Partai Golongan Karya (Golkar), 17,8 persen
Partai Gerindra 6,2 persen
PKS 5,1 persen
PKB 5,0 persen
PPP 4,9 persen
Partai Demokrat 4,7 persen
Hanura 4,8 persen
Survei: Media Survei Nasional (Median) 28 Januari - 15 Februari 2014

PREDIKSI RAIHAN KURSI DI DPR 2009
PDIP 124 kursi
Gerindra 105 kursi
Golkar 93 kursi
Demokrat 71 kursi, PAN 58 kursi,
PKS 35 kursi
PPP 31 kursi
Hanura 23 kursi
PKB 20 kursi
PBB, Nasdem dan PKPI – gak dapat kursi
Hasil Survei NCID 8 – 23 Maret

HASIL PILEG 2009    
Demokrat     20,85%     148     150
Golkar             14,45%     108     107
PDIP                 14,03%     93     95
PKS                  7,88%     59     57
PAN                  6,01%     42     43
PPP                  5,32%     39     37
PKB                 4,94%     26     27
Gerindra       4,46%     30     26
Hanura              3,77%     15     18
Jumlah             100%     560     560
Sumber : Pengumuman Hasil Rekapitulasi Perhitungan Suara Pemilu KPU

HASIL PILEG 2004                             
NAMA PARTAI POLITIK         JUMLAH SUARA      %        KURSI  
1     Partai Golongan Karya                    24.480.757               21,58           128
2     PDIP                                                       21.026.629                 18,53           109
3     Partai Kebangkitan Bangsa             11.989.564              10,57              52
4     Partai Persatuan Pembangunan     9.248.764                8,15              58
5     Partai Demokrat                                   8.455.225                7,45               57
6     Partai Keadilan Sejahtera                  8.325.020               7,34               45
7     Partai Amanat Nasional                      7.303.324               6,44                52
8     Partai Bulan Bintang                             2.970.487              2,62                 11
9     Partai Bintang Reformasi                   2.764.998               2,44                 13
10     Partai Damai Sejahtera                     2.414.254               2,13                    12
11     Partai Karya Peduli Bangsa            2.399.290                  2,11                   2
12     PKPU                                                          1.424.240              1,26                    1
13     PPDKB                                                        1.313.654                1,16                   5
14     PNBK                                                           1.230.455                 1,08                1
15     Partai Patriot Pancasila                       1.073.139                0,95                 0
16     PNIM                                                           923,159                   0,81                   1
17     PPNUI                                                           895.610                   0,79                    0
18     Partai Pelopor                                            878.932                    0,77                     2
19     PPDI                                                                  855.811               0,75                       1
20     Partai Merdeka                                          842.541                 0,74                      0
21     Partai Sarikat Indonesia                         679.296                  0,60               0
22     Partai Perhimpunan Indonesia Baru     672.952                 0,59                0
23     Partai Persatuan Daerah                         657.916                   0,58              0
24     Partai Buruh Sosial Demokrat              636.056              0,56                      0
Total                                                                  113.462.414            100             550
Sumber : Pengumuman Hasil Rekapitulasi Perhitungan Suara Pemilu KPU


Kisah Tiga Caleg dan Calon Pemilihnya

Gerin, lelaki yang jarang bergaul, jarang tersenyum, dan pelit itu pada hari-hari ini berubah total. Ia jadi begitu ramah bahkan terkesan sok akrab. Selain itu Gerin juga jadi royal memberi uang kepada warga sekitarnya.

“Ya wajarlah, dia kan seorang caleg,” kata Adit, seorang penjual nasi goreng yang mengaku sudah mendapat sebuah kaos, kaset, dan uang dari Gerin. “Kemarin, gua juga dapet uang Rp 30.000 dari Pak Hanur. Dia kan nyaleg juga,” tambah Adit.

“Kalau dari Bu Peni kamu udah dapet belum. Dia kan pengen dipilih juga. Bini gua sih dapet Rp 50.000 dari dia, katanya pas hari pencoblosan akan dikasih lagi…,” kata Kido, seorang tukang ojek yang sedang menunggu pesanan nasi goreng dari Adit.

“Bu Peni yang tinggal di sektor V ya,” kata Adit seraya mengecilkan kompor gas di gerobak nasi gorengnya. Tangannya lalu mengambil sebuah handphone dari saku celana untuk menelepon seseorang. Beberapa menit kemudian, ia berkata lagi pada Kido.

“Ternyata bini gua udah terima uang juga darinya. Cuma ia nggak sempet bilang ke gua karena uangnya keburu buat bayar utang. Ya nggak apa-apalah, nanti kan dapet lagi kan?,” ucap Adit sambil meneruskan pekerjaan mengoreng nasi pesanan Kido.

Musim caleg tahun ini benar-benar sangat menguntungkan wong cilik seperti Adit dan Kido. Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menetapkan mekanisme suara terbanyak dalam penetapan caleg membuat suara rakyat makin berharga. Para caleg berlomba-lomba membeli suara rakyat itu.

Selain menebar uang, mereka juga mengumbar janji bahwa jika saatnya mereka terpilih, maka rakyat yang menyontreng namanya akan diperhatikan. Diperhatikan seperti apa? Tak perlulah dijelaskan. Wong cilik seperti Adit dan Kido sudah tahu. Makanya daripada menunggu janji gombal mereka sampai terpilih, lebih baik mloroti keuangan mereka semasa masih caleg.

“Kecuali kalau ada diantara caleg berani ngasih uang hingga Rp 500.000 untuk satu suara. Gua tak akan berpaling ke lain hati,” kata Kido.

Dengan bersemangat Adit pun menjawabnya. “Mereka tak bisa lagi ngebohongin kita. Sekali-kali kita ya ngebohongin mereka,” ucap Adit sambil tertawa terbahak- bahak.

Adit dan Kido sesungguhnya tak berniat menipu. Mereka hanya baru sadar bahwa yang mereka hadapi adalah calon-calon penipu. Makanya daripada ditipu duluan, lebih baik mereka memanfaatkan keadaan.

Suatu hari rombongan polisi datang ke rumah Gerin dan menggelandang lelaki tersebut. Kabar yang beredar sang caleg ditangkap karena menggelapkan sejumlah mobil dari perusahaannya. Uang dari penipuan tersebut sebagian sudah disebar ke masyarakat dalam rangka posisinya sebagai caleg.

Sejumlah polisi juga mendatangi rumah Hanur. Cuma mereka tak bertemu dengan orangnya. Kabar beredar lelaki tersebut terlibat dalam pembobolan brankas sejumlah ATM. Polisi sudah menangkap tiga tersangka, dan ketiganya mengutip keterlibatan Hanur.

Bagaimana dengan Peni? “Itulah kalau memilih caleg lelaki. Mereka itu cenderung jahat, korupsi. Coba perhatikan, adakah anggota DPRD wanita ditangkap karena perbuatan seperti itu,” kata Peni seperti mendapatkan momentum.

Peluang wanita itu untuk terpilih sebagai anggota legislatif pun seolah-olah kian terbuka dengan gugurnya Gerin dan Hanur dari daerah pemilihan serupa. Namun Adit dan Kido tetap saja meragukannya. Mereka ragu dengan track record wanita itu. “Dia juga mau beramal pas jadi caleg saja. Dulu-dulunya ngapain,” ucap Adit.

Sepekan sebelum pencoblosan, anak Ny Peni masuk rumah sakit karena mengkonsumsi narkoba. Saat itu ia masih berapi-api menyalahkan pemerintah yang tak serius memberantas jaringan narkoba. Ia seakan-akan tahu betul bagaimana jaringan pengedar narkoba merusak masa depan bangsa. Dan bagaimana pula aparat menghadapinya.

Pidato ibu dua anak itu redup dengan sendirinya begitu polisi memaksa masuk ke rumah dan mengelandang suaminya. Suami Ny Peni ditangkap dengan tuduhan mencengangkan, yakni sebagai bandar narkoba. Jadi masih adakah caleg dipercaya?

“Lho kita kan butuh uangnya, bukan orangnya. Jangan lebaylah,” kata Adit mengingatkan.

Kido tiba-tiba tertawa mendengarnya. “Lebay? ya..ya..ya,” ucapnya sok tahu.

Hahaha….

Bukan Yang Pertama

Ini pasti bukan blog yang pertama saya. Meski demikian saya mencoba membuat lagi demi kenyamanan. Kenyamanan dalam hal tak membuang waktu karena saya berharap bisa membuka email, google+ sekaligus ngeblog. Selain itu saya juga bisa ngeblog bareng anak yang juga memiliki akun di Blogspot. Mudah-mudahan harapan saya terwujud. Terimakasih buat teman yang sudah mampir.
Ini adalah gambar Kotaku Saat ini, Depok