Kamis, 03 April 2014

Polisi Pun Bosan: Lu Lagi, Lu Lagi...

Suatu pagi cerah, usai mengantar anak sekolah, saya mencuci sepeda motor di sekitar Parung, perbatasan Depok-Bogor. Sekitar 15 menit kemudian tiba-tiba kepanikan kecil terjadi di depan saya.
Sejumlah pengendara motor tiba-tiba berhenti. Beberapa lainnya berbalik arah memasuki gang. Hal itu diikuti pengendara motor lainnya yang memilih mencari jalan tikus dari pada jalan lurus yang lebih mulus.
Usut punya usut ternyata baru saja digelar razia sepeda motor sekitar 300 meteran dari lokasi pencucian motor. Bisa ditebak model bikers (pengendara sepeda motor) seperti apa yang panik saat ada razia motor.
Mereka biasanya para bikers yang tak mengenakan helm lengkap baik yang menyetir, maupun yang membonceng. Biasanya bikers seperti ini tujuannya jarak dekat dan tak mengira ada razia motor.
Ada juga bikers yang sudah menggunakan helm tapi tetap takut karena tak membawa surat-surat lengkap seperti SIM dan STNK. Bisa juga karena sepeda motor yang dikendarainya adalah pinjaman dan ia lupa meminjam surat surat-surat sepeda motor.
Yang saya bingung adalah para bikers yang berpenampilan lengkap, pakai jaket, helm, tas, sepeda motor juga bagus namun memilih berbelok menghindari razia yang digelar petugas. Dan model seperti ini jumlahnya bukan satu orang. “Jika tak bersalah, kenapa mesti takut?,” pikir saya.
Salah seorang bikers berpenampilan lengkap tadi kebetulan meminggirkan sepeda motornya untuk dicuci. “Wah ketemu razia lagi,” katanya, membuka percakapan .
Saya pun punya kesempatan untuk ngobrol lebih jauh. “Kayaknya, baru 15 menit,” kata saya menanggapi basa-basinya.
Seperti sudah diduga, bikers tersebut seorang karyawan yang tinggal di sekitar Parung dan bekerja di daerah Grogol. Menggunakan sepeda motor, ucapnya, adalah satu-satunya angkutan paling murah dibanding menggunakan angkutan umum dimana ia harus gonta-ganti naik angkutan yang biasanya bisa jatuh tiga kali lebih mahal dibanding menggunakan sepeda motor.
“Itulah mengapa jumlah sepeda motor yang melintasi Jakarta kian banyak jumlahnya. Lagi pula, beli sepeda motor sekarang ini kan gampang. Punya uang Rp 500.000 sudah bisa bawa pulang sepeda motor baru,” papar bikers yang ternyata doyan ngobrol tadi.
Saya jadi membayangkan kemudahan mendapat sepeda motor seperti fakta tak terhindarkan. Bahkan sekarang ini telah menjadi fenomena bahwa bikers di jalanan Jakarta bukan hanya kaum pria, tapi juga wanita. Hal itu seiring dengan munculnya produk sepeda motor matic dan scutic yang memang diperuntukan kaum hawa.
Para bikers wanita itu bahkan bukan hanya melintas siang hari, tapi tengah malam. “Malam hari naik metro mini sendirian pasti lebih serem dibanding naik sepeda motor.” Begitu kata salah seorang bikers wanita di kantor saya.
Kembali pada bikers berpenampilan lengkap tadi. Ia mengaku punya SIM dan STNK. Hanya saja masa berlaku STNK sepeda motornya sudah habis. Dan hingga sekarang ia belum sempat membayar pajaknya. “Toh, denda terlambat membayar perpanjangan STNK mau sehari atau setahun sama saja besarannya,” ucap sang bikers tersebut beralasan.
Katanya lagi, ia belum sempat mengurus STNK karena lokasi pembayaran jauh dari rumahnya. Belum lagi ia membayangkan harus antre sehingga dibuat malas duluan. Lagi pula razia sepeda motor siang hari kan jarang. Kalaupun kena yang urusannya sebentar. Berdebat dulu agar bisa lolos. Kalau gagal tinggal melakukan salam tempel. Beres deh.
“Tapi terus terang yang razia di sini saya malas dan tengsin (malu),” katanya seraya menyebut hafal anggota polisi yang merazia karena sering kena.
Saya bersyukur ia punya rasa malu karena salah. Sebab ada pula loh, teman saya sekantor yang juga sering kena razia polisi yang sama.
Saya lalu bercerita kepadanya soal itu. Begitu teman saya kena razia lagi, polisi yang sama tadilah yang malas menindaklanjutinya. “Lu lagi, lu lagi,” kata polisi itu.
Bikers tadi ternyata tertawa terpingkal-pingkal mendengarnya seraya bilang. “Saya juga pernah digituin. Lu lagi, lu lagi!”

Rabu, 02 April 2014

Pelajaran dari Seorang Motivator

Linda, sebut saja begitu namanya, tampil meyakinkan saat menjadi motivator pada sebuah perusahaan pers di Jakarta. Ia memberi berbagai wejangan tentang bagaimana caranya menjadi karyawan profesional sekaligus sukses.

Tepat waktu, katanya, menjadi salah satu kata kunci yang harus dipegang teguh. “Ya kalau kantornya dekat pasar harus siap berangkat kerja lebih awal. Jangan malah itu jadi alasan,” ucap Linda dengan mimik serius.

Apa yang dikatakan Linda tentu masuk akal, namun tidak istimewa karena begitulah seharusnya.  Petuah seperti itu bahkan akan masuk dan keluar telinga begitu saja, kalau saja tak ada peristiwa yang cukup relevan minggu berikutnya.

Setelah pertemuan itu, diputuskan untuk mengadakan pertemuan lanjutan guna menemukan work habits yang dibutuhkan dalam kantor tersebut.

Tidak seperti pertemuan pertama dimana Linda dan timnya datang lebih awal sebelum para karyawan yang hendak diberi motivasi itu bermunculan. Pada pertemuan kedua terjadi sebaliknya, justru yang terlambat. Bahkan ia baru muncul lebih dari setengah jam dari jadwal yang ditentukan.

Begitu muncul ia tampak tergopoh-gopoh. Sungguh tidak enak rasanya datang terlambat dalam posisi sebagai motivator. Ia pun langsung meminta beribu maaf.  “Sudah tahu kantornya dekat pasar,” begitu sebuah celetukan muncul.

Linda berusaha untuk tidak malu dengan celetukan itu seraya menyebut bahwa ia harus meninggalkan mobilnya untuk naik ojek agar bisa menembus kemacetan yang katanya di luar prediksi. Namun celetukan berikutnya muncul. “Itu mah (ngojek ke kantor) makanan kita sehari-hari!”

Pelajaran penting yang bisa dipetik tampaknya bukan pada banyaknya motivasi yang telah disampaikan Linda dan timnya. Tetapi justru dari apa yang baru saja ia lakukan.

Selasa, 01 April 2014

Survei Bersemi Menjelang Pileg dan Pilpres


Bermacam survei bersemai jelang Pileg 9 April dan Pilpres 9 Juli. Dengan berbagai sudut pandang mereka melakukan survei tentang calon anggota legislatif dan calon Presiden yang akan dipilih rakyat.
Ada yang bisa dipercaya publik ada yang meragukan. Ada pula yang memberi perspektif lain tentang keberagaman pilihan survei. Misalnya hasil survei terhadap korban Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan dalam memandang capres 2014-2019 yang dilakukan Setara Institut. 
Hasilnya, Joko Widodo (67%), disusul Megawari Soekarnoputri (7%); Prabowo Subianto (6%); Mahfud MD (4%); Dahlan Iskan (3%); Jusuf Kalla/JK (3%); Surya Paloh (3%); Pramono Edhie Wibowo (2%): Aburizal Bakrie (2%); Anis Baswedan (2%); Hatta Rajasa (1%) dan Suryadharma Ali (0%). Suryadharma yang menjabat Menteri Agama sekarang ini dianggap gagal merawat perbedaan agama. Ia dianggap cenderung berpihak pada agama tertentu, tak cocok dengan jabatannya.
Sebelumnya, Pol-Tracking Institute melakukan Survei Pakar bertajuk “Mengukur Kualitas Personal Para Kandidat Capres-Cawapres. Survei dengan responden 330 Guru Besar (Profesor) pada 33 Provinsi pada 3 Februari hingga 10 Maret 2014. JK berada pada urutan teratas, disusul Jokowi.
Forum Umat Islam (FUI) mengaku sudah punya survei soal siapa yang layak dipilih jadi capres. Meski tak menyebutkan metodologinya, hasilnya bisa ditebak. Jokowi yang begitu populer pada survei umumnya, justru tak ada yang memilih di survei FUI.
Mengutip pernyataan Sekretaris Jenderal FUI KH Muhammad Al Khaththath, hasilnya adalah  60 persen menginginkan Habib Rizieq (Ketua FPI) menjadi Presiden, disusul Yusril Ihza Mahendra 13,8 persen, Ustad Yusuf Mansyur 13,2 persen, dan Jokowi 0 (nol) persen.
Nah, hari ini Rabu (2/4) ada sekitar tiga undangan terkait survei Capres/Cawapres/Caleg. Pertama dari LSI milik Deny JA yang hendak mengabarkan survei kampanye negatif dan prediksi hasil Pileg 2014. Lalu hasil pemantauan PoliticWave soal perang digital Pemilu 2014, dan hasil Survei dari Yayasan Jantung Sehat terkait caleg yang tidak pro kesehatan.
Sehari kemudian, Kamis (3/4) PopuliCenter akan menyampaikan survei persepsi kaum profesional di Jakarta mengenai capres dan cawapres 2014-2019.
Keberagaman survei memang sah-sah saja. Ada atau tidak ada kepentingan di belakang hasil survei tersebut juga tak masalah. Toh, rakyat sekarang ini tidak bodoh. Mereka sudah punya pilihan sendiri, bahkan termasuk pilihan tidak memilih. 
Namun dia tak menjelaskan bagaimana survei dilakukan atau metode penelitian tersebut.


Tim Sukses Caleg yang Memukau

Seorang lelaki mengenakan kemeja putih dan celana jeans telah membetot perhatian warga Kampung Tanpaguna, Desa Tanpadaya, Kecamatan Tanpawibawa. Senyum lelaki itu seolah memberikan aura positif bagi warga sekitarnya.

“Asal bapak dan ibu tahu, si Bung inilah yang telah membantu kita dalam pengasapan sebulan lalu. Alhamdulillah, setelah pengasapan itu tak ada lagi warga kita kena demam berdarah…,” kata Santo, ketua RT setempat. Lelaki yang diperkenalkan sebagai Bung Kalem itu mengangguk sambil tetap tersenyum kepada semua orang.

Saat ketua RT mempersilahkan Bung Kalem memberikan sambutan, lelaki tersebut kemudian menghampiri Santo. Tak lama kemudian ketua RT menyampaikan maaf kepada warga sekitar bahwa Bung Kalem tak siap memberikan sambutan. Ia bilang sudah senang melihat warga di Kampung Tanpaguna tersebut terbebas wabah demam berdarah.

Dalam 10 tahun terakhir, penyakit DBD tak pernah benar-benar hilang dari peredaran. Penyakit yang disebabkan nyamuk aedes aegipty itu akan muncul dan muncul lagi. Terutama dimulai pada musim transisi dari musim panas ke musim hujan hingga musim transisi lagi.

Ironisnnya jumlah korban DBD makin tahun cenderung meningkat seolah nyamuk aedes aegipty lebih pintar daripada manusia, para dokter, dan ahli kesehatan. “Habis bagaimana penyakit tersebut tidak hilang jika mereka pejabat kita sibuk dengan urusan proyek daripada menghadapi penyakit DBD,”ujar Santo.

Sebagai ketua RT, Santo mengaku pernah habis kesabarannya terkait urusan penyakit tersebut. Beberapa waktu lalu beberapa warganya terserang penyakit DBD, seorang anak diantaranya meninggal dunia. Warga panik. Ia melapor ke tingkat kelurahan, kecamatan, hingga pemerintahan kota agar dilakukan pengasapan. Tapi responnya tak seperti yang diharapkan.

“Mereka minta saya bikin proposalah, menunggu dana cairlah, menunggu dibikinin Sk-lah. Mereka sama sekali tidak tanggap!,” ujar Santo.

Saking putus asanya, Santo pernah bilang akan memilih bahkan memobilisasi warganya kepada caleg yang mau mengadakan pengasapan di lingkungannya. Ternyata tak ada satu pun caleg yang muncul. Para caleg di sekitar lingkungan mereka memilih mengeluarkan dananya untuk bikin spanduk, kaos, atau dibagi- bagikan kepada warga yang diduga akan memilihnya.

Lalu Bung Kalem muncul. Semula Santo mengira ia seorang caleg. Bahkan untuk membuktikan bahwa lelaki di hadapannya caleg atau bukan, diam-diam ia mendatangi KPU setempat. Ternyata ia memang bukan caleg.

Di mata Santo, dan mungkin juga warga lainnya, Caleg adalah pembual, munafik. Mereka kerap mengumbar janji manis, namun setelah terpilih menjadi anggota legislatif, anggota DPR/DPRD lupa pada rakyat yang memilihnya. Banyak diantara mereka menjadi korup, bahkan main perempuan.

“Kalau Bung bukan seorang caleg, buat apa bapak repot-repot menolong kami,” tanya seorang warga dalam kesempatan berbincang dengan Bung Kalem.

Lelaki itu tersenyum. “Kira-kira saya pantes nggak menjadi seorang caleg,” tanya Bung Kalem. Beberapa warga yang mendengarnya langsung berkata serentak: panteeesss!.

“Tapi maukah kalian memilih saya meski tak memberikan kalian uang,” tanyanya lagi. Jawaban serupa dan serentak masih terdengar.

“Oke. Kalau kalian percaya saya. Tapi saya bukan seorang caleg,” kata Bung Kalem.

Sebulan kemudian, Santo memberikan kabar kepada warga bahwa Bung Kalem akan datang lagi ke lingkungan mereka untuk membagikan sembako murah. “Apa maksudnya ia memberi kita sembako murah?” Seorang warga berkata, masih curiga. Namun ia tak berhasil mendapatkan jawabannya.

Masih mengenakan kemeja putih dan jeans biru, kahadiran Bung Kalem benar-benar menghangatkan suasana. Diantara kerumunan warga yang antre sembako, kehadirannya begitu bersinar. Ia seakan memberikan cahaya terang dan sejuta harap kepada warga di sekitarnya.

“Saya katakan sekali lagi, saya memang bukan caleg. Tapi jika bapak dan ibu masih percaya saya, saya sarankan untuk memilih gambar dalam amplop yang ada di dalam paket sembako tersebut. Beliau orang baik, caleg DPR RI,” kata Bung Kalem.

Semua warga yang sudah menenteng paket sembako bergegas mencari amplop untuk melihat wajah caleg yang disebut Bung Kalem. Ternyata wajahnya berbeda dengan Bung Kalem. “Beliau adalah bos saya. Beliaulah yang menyediakan dana untuk pengadaan paket sembako ini, termasuk dana pengasapan beberapa waktu lalu,” katanya lagi seolah tahu apa yang dipikirkan warga.

“Jangan khawatir, beberapa hari lagi beliau akan ke sini. Beliau akan memberikan kabar gembira. Beliau juga tak akan melupakan jasa-jasa kalian,” kata Bung Kalem. Kali ini nadanya seolah-olah dia seorang juru kampanye.

Warga yang bingung akhirnya menghadap Ketua RT Santo setelah Bung Kalem pulang. Mereka merasa kena fait accompli, disuruh memilh caleg yang belum dikenal namun telah memberi paket sembako tersebut?

Santo pun minta maaf karena kurang teliti menanyakan kehadiran Bung Kalem. Waktu itu ia hanya bertanya apakah Bung Kalem seorang caleg atau bukan, ternyata memang bukan.

“Nyatanya ia seorang tim sukses caleg. Huh, sama saja!,” ucapnya seperti menyalahkan diri sendiri.

Meski begitu warga tetap deg-degan menanti kehadiran caleg yang dijanjikan Bung Kalem. Mereka percaya dengan perkataan lelaki berkemeja putih dan celana blue jeans tersebut, namun mereka sulit lepas dari anggapan bahwa semua caleg sama saja, pembual…