Suatu pagi cerah, usai mengantar anak sekolah, saya mencuci sepeda
motor di sekitar Parung, perbatasan Depok-Bogor. Sekitar 15 menit
kemudian tiba-tiba kepanikan kecil terjadi di depan saya.
Sejumlah pengendara motor tiba-tiba berhenti. Beberapa lainnya
berbalik arah memasuki gang. Hal itu diikuti pengendara motor lainnya
yang memilih mencari jalan tikus dari pada jalan lurus yang lebih mulus.
Usut punya usut ternyata baru saja digelar razia sepeda motor sekitar
300 meteran dari lokasi pencucian motor. Bisa ditebak model bikers
(pengendara sepeda motor) seperti apa yang panik saat ada razia motor.
Mereka biasanya para bikers yang tak mengenakan helm lengkap baik
yang menyetir, maupun yang membonceng. Biasanya bikers seperti ini
tujuannya jarak dekat dan tak mengira ada razia motor.
Ada juga bikers yang sudah menggunakan helm tapi tetap takut karena
tak membawa surat-surat lengkap seperti SIM dan STNK. Bisa juga karena
sepeda motor yang dikendarainya adalah pinjaman dan ia lupa meminjam
surat surat-surat sepeda motor.
Yang saya bingung adalah para bikers yang berpenampilan lengkap,
pakai jaket, helm, tas, sepeda motor juga bagus namun memilih berbelok
menghindari razia yang digelar petugas. Dan model seperti ini jumlahnya
bukan satu orang. “Jika tak bersalah, kenapa mesti takut?,” pikir saya.
Salah seorang bikers berpenampilan lengkap tadi kebetulan
meminggirkan sepeda motornya untuk dicuci. “Wah ketemu razia lagi,”
katanya, membuka percakapan .
Saya pun punya kesempatan untuk ngobrol lebih jauh. “Kayaknya, baru 15 menit,” kata saya menanggapi basa-basinya.
Seperti sudah diduga, bikers tersebut seorang karyawan yang tinggal
di sekitar Parung dan bekerja di daerah Grogol. Menggunakan sepeda
motor, ucapnya, adalah satu-satunya angkutan paling murah dibanding
menggunakan angkutan umum dimana ia harus gonta-ganti naik angkutan yang
biasanya bisa jatuh tiga kali lebih mahal dibanding menggunakan sepeda
motor.
“Itulah mengapa jumlah sepeda motor yang melintasi Jakarta kian
banyak jumlahnya. Lagi pula, beli sepeda motor sekarang ini kan gampang.
Punya uang Rp 500.000 sudah bisa bawa pulang sepeda motor baru,” papar
bikers yang ternyata doyan ngobrol tadi.
Saya jadi membayangkan kemudahan mendapat sepeda motor seperti fakta
tak terhindarkan. Bahkan sekarang ini telah menjadi fenomena bahwa
bikers di jalanan Jakarta bukan hanya kaum pria, tapi juga wanita. Hal
itu seiring dengan munculnya produk sepeda motor matic dan scutic yang
memang diperuntukan kaum hawa.
Para bikers wanita itu bahkan bukan hanya melintas siang hari, tapi
tengah malam. “Malam hari naik metro mini sendirian pasti lebih serem
dibanding naik sepeda motor.” Begitu kata salah seorang bikers wanita di
kantor saya.
Kembali pada bikers berpenampilan lengkap tadi. Ia mengaku punya SIM
dan STNK. Hanya saja masa berlaku STNK sepeda motornya sudah habis. Dan
hingga sekarang ia belum sempat membayar pajaknya. “Toh, denda terlambat
membayar perpanjangan STNK mau sehari atau setahun sama saja
besarannya,” ucap sang bikers tersebut beralasan.
Katanya lagi, ia belum sempat mengurus STNK karena lokasi pembayaran
jauh dari rumahnya. Belum lagi ia membayangkan harus antre sehingga
dibuat malas duluan. Lagi pula razia sepeda motor siang hari kan jarang.
Kalaupun kena yang urusannya sebentar. Berdebat dulu agar bisa lolos.
Kalau gagal tinggal melakukan salam tempel. Beres deh.
“Tapi terus terang yang razia di sini saya malas dan tengsin (malu),”
katanya seraya menyebut hafal anggota polisi yang merazia karena sering
kena.
Saya bersyukur ia punya rasa malu karena salah. Sebab ada pula loh,
teman saya sekantor yang juga sering kena razia polisi yang sama.
Saya lalu bercerita kepadanya soal itu. Begitu teman saya kena razia
lagi, polisi yang sama tadilah yang malas menindaklanjutinya. “Lu lagi,
lu lagi,” kata polisi itu.
Bikers tadi ternyata tertawa terpingkal-pingkal mendengarnya seraya bilang. “Saya juga pernah digituin. Lu lagi, lu lagi!”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar